Konflik berkepanjangan di Gaza kembali mempertontonkan ironi paling getir dari politik kekuasaan: di satu sisi, warga sipil terus menjadi korban—terbunuh, terluka, kehilangan rumah, keluarga, dan seluruh harta benda; di sisi lain, seorang pemimpin tampil angkuh dalam setelan jas rapi, berdiri tegak di tengah hiruk pikuk kampanye pemilihan umum yang mewah dan penuh pencitraan. Padahal, di waktu yang sama, tanah tempat ratusan jenazah terbujur kaku bahkan belum sempat dingin.
Para tawanan masih terjebak di Gaza, menanti keadilan yang belum juga datang. Banyak pihak menyebut sang pemimpin sebagai seorang diktator yang kehilangan empati, memanfaatkan momentum bencana untuk mengukuhkan citra dan memperluas kekuasaan.
Di saat sebagian besar dunia menyoroti penderitaan rakyat sipil akibat serangan brutal dan blokade yang melumpuhkan, ia memilih untuk melanjutkan kampanye politik tanpa jeda, seolah tragedi kemanusiaan di Gaza hanyalah latar belakang yang tidak layak diperhitungkan dalam agenda kekuasaannya. Warga sipil yang selamat dari kehancuran menyuarakan kesedihan dan kemarahan mereka atas ketidakpedulian ini.
Mereka menyaksikan rumah-rumah runtuh, anak-anak kehilangan orang tuanya, dan ribuan orang hidup di pengungsian tanpa air bersih atau makanan. Di tengah semua ini, kemunculan seorang pemimpin dalam balutan jas mahal, menyampaikan pidato kemenangan dan menjanjikan masa depan yang lebih cerah, terasa seperti penghinaan terhadap luka yang masih menganga.
Media sosial dan kanal perlawanan membanjiri ruang digital dengan potret kontras antara penderitaan warga Gaza dan pertunjukan politik penuh kemewahan. Warga yang merasa terkhianati menyebutnya sebagai simbol ketidakmanusiawian modern, di mana kekuasaan lebih dipertahankan ketimbang nyawa manusia.
Tak sedikit yang mempertanyakan di mana letak hati nurani ketika rakyat sendiri dihancurkan oleh perang dan penjajahan, namun sang pemimpin sibuk merayakan popularitas. Sikap seperti ini bukan hanya mencerminkan kegagalan moral, tetapi juga menjadi sinyal berbahaya tentang bagaimana kekuasaan bisa tumbuh di atas puing-puing kemanusiaan.
Pemimpin yang seharusnya berdiri paling depan dalam melindungi rakyat, justru memilih berdiri di panggung politik demi memperpanjang kekuasaan. Bagi para korban, tindakan tersebut tidak lebih dari bentuk pengkhianatan yang menyakitkan.
Masyarakat internasional juga mulai mempertanyakan kredibilitas proses politik yang digelar di tengah bencana besar. Bagaimana mungkin kampanye pemilu dianggap sah dan etis ketika rakyat hidup dalam bayang-bayang kematian dan kehancuran? Bagaimana mungkin pemimpin bisa berbicara soal masa depan, ketika masa kini saja masih dipenuhi dengan derita dan darah?
Tuduhan bahwa sang pemimpin bersikap seperti diktator semakin menguat, terlebih ketika tidak ada langkah nyata untuk menghentikan kekerasan atau membebaskan para tawanan yang masih disandera. Di tengah pekikan anak-anak dan tangis perempuan yang kehilangan seluruh keluarganya, pidato-pidato kemenangan dan janji politik hanya terdengar sebagai ejekan yang kejam.
Gaza berduka, tetapi panggung politik tetap berdiri megah, menjadi bukti bahwa bagi sebagian pemimpin, kekuasaan lebih berarti dari nyawa manusia.