Pernyataan tegas disampaikan Duta Besar Iran untuk PBB, Amir Saeed Eyravani, terkait kebuntuan negosiasi dengan Amerika Serikat. Dalam konferensi pers baru-baru ini, Eyravani menegaskan bahwa Iran tidak akan pernah tunduk pada syarat sepihak yang ingin dipaksakan oleh Amerika.
Baginya, perundingan adalah jalan dua arah, bukan ruang untuk mendikte kehendak satu pihak atas pihak lain. Pernyataan ini sekaligus mempertegas posisi Iran di tengah ketegangan berkepanjangan mengenai isu nuklir dan tekanan sanksi ekonomi yang terus dilancarkan Barat.
Menurut Eyravani, jika Amerika benar-benar ingin melakukan perundingan, maka syarat utama adalah kesediaan untuk mendengar dan menghormati posisi Iran sebagai negara berdaulat. Namun jika Washington hanya berniat memaksakan kebijakan mereka, maka tidak akan ada diskusi apa pun.
Ia menyebut penyerahan tanpa syarat bukanlah negosiasi, melainkan upaya dominasi sepihak. Ini bukan pertama kalinya Iran menyuarakan penolakan keras terhadap kebijakan tekanan maksimum Amerika yang dinilai gagal membawa hasil selain meningkatkan ketegangan regional.
Dalam kesempatan yang sama, Eyravani juga menyinggung situasi para inspektur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Iran. Meski ia memastikan bahwa para inspektur saat ini dalam kondisi aman, ia mengonfirmasi bahwa akses mereka ke sejumlah situs telah ditangguhkan.
Menurutnya, tindakan ini diambil karena para inspektur dianggap tidak menjalankan tugas sesuai mandat netralitas yang seharusnya menjadi prinsip kerja IAEA. Iran beranggapan bahwa laporan dan pengawasan IAEA justru kerap dijadikan dasar tekanan politik dan ekonomi oleh negara-negara Barat terhadap Teheran.
Lebih jauh, Eyravani juga menanggapi kritik dan ancaman yang sempat ditujukan kepada Direktur Jenderal IAEA. Ia menegaskan, Iran tidak mempersoalkan individu tertentu, tetapi mempertanyakan kredibilitas lembaga secara keseluruhan.
Menurutnya, kegagalan IAEA menjaga profesionalitas dalam bekerja telah membuka celah bagi negara-negara tertentu untuk menyerang kedaulatan Iran melalui berbagai kebijakan agresif. Penundaan aktivitas para inspektur IAEA ini tentu menjadi sorotan internasional, mengingat ketegangan nuklir Iran kerap menjadi sumber kekhawatiran global.
Namun di mata Iran, tindakan ini sah-sah saja sebagai respons terhadap apa yang mereka sebut standar ganda dan ketidakadilan lembaga internasional tersebut. Iran berkali-kali menegaskan bahwa program nuklirnya ditujukan untuk kepentingan sipil dan riset, bukan untuk pengembangan senjata seperti yang sering dituduhkan Barat.
Di tengah semua itu, Iran juga menyampaikan kesiapan untuk kembali ke meja perundingan asalkan tidak ada tekanan atau paksaan syarat sepihak. Pemerintah Iran berulang kali menyatakan bahwa dialog hanya dapat berhasil jika kedua pihak setara dan sama-sama mau mendengar serta menghormati posisi masing-masing.
Pernyataan Eyravani ini semakin memperjelas bahwa jalan menuju perundingan nyata masih panjang dan penuh rintangan diplomatik. Sementara itu, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa terus mendesak Iran agar membuka kembali akses penuh bagi IAEA dan mematuhi kesepakatan nuklir lama yang sempat runtuh setelah AS menarik diri pada 2018.
Perselisihan ini telah menjadi salah satu isu kunci dalam hubungan Timur Tengah-Barat yang tidak kunjung reda, dan menjadi ujian besar bagi diplomasi internasional di masa mendatang. Dengan dinamika yang terus berkembang, dunia kini menanti apakah ketegangan ini akan berujung pada perundingan damai atau justru semakin membuka jalan bagi konflik dan ketidakpastian baru.
Satu hal yang pasti, Iran telah menegaskan bahwa kedaulatan dan martabat nasional bukan barang yang bisa diperdagangkan di meja negosiasi mana pun.