Pemerintah di Jalur Gaza kembali dikejutkan oleh temuan mengejutkan dalam kiriman bantuan pangan. Kantor Media Pemerintah Gaza secara resmi mengumumkan bahwa mereka telah menemukan pil-pil narkotika jenis oxycodone yang disembunyikan dalam kantong-kantong tepung.
Kiriman tersebut diketahui berasal dari pusat bantuan yang dikendalikan oleh Amerika Serikat dan Israel, dua pihak yang selama ini mendaku diri sebagai penyalur bantuan kemanusiaan. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan potret yang jauh lebih kelam dan mengkhawatirkan.
Temuan ini bukanlah insiden pertama. Dalam laporan resmi disebutkan bahwa sudah terjadi empat kasus serupa, di mana tepung yang semestinya menyelamatkan warga dari kelaparan justru menjadi kendaraan penghancur mental dan moral.
Warga Gaza, yang selama ini terjebak dalam blokade, bombardemen, dan krisis pangan, kini juga harus menghadapi ancaman tersembunyi dalam bantuan kemanusiaan. Ini menciptakan kemarahan dan kepedihan yang mendalam di tengah penderitaan yang belum kunjung usai.
Pusat-pusat distribusi bantuan yang dikendalikan AS dan Israel kini dijuluki warga sebagai “perangkap maut” (مصائد الموت). Julukan ini lahir bukan dari retorika kosong, melainkan dari pengalaman pahit warga yang mulai menyadari bahwa bantuan bukan lagi sekadar soal pangan, melainkan alat baru kolonialisme yang merusak dari dalam.
Ketika rakyat lapar berharap sebutir roti, mereka justru diberi zat candu yang melumpuhkan daya pikir dan menghancurkan masa depan. Penggunaan oxycodone, narkotika kuat yang dikenal sebagai pereda nyeri sekaligus candu, merupakan bentuk serangan psikologis dan sosial yang sangat terencana.
Tujuan dari penyelundupan ini bukan hanya melemahkan tubuh, tetapi juga menjinakkan semangat perlawanan. Ketika masyarakat yang terjajah dibuat tumpul daya kritisnya, maka kekuasaan penjajah semakin mudah mengakar.
Inilah bentuk baru dari penjajahan: bukan lagi dengan peluru, tetapi dengan pil. Pernyataan resmi dari pihak Gaza mengecam tindakan ini sebagai bentuk kekejaman yang melampaui batas.
Mereka menilai ini bukan lagi sekadar pelanggaran hukum internasional, tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan. “Ini bukan sekadar kejahatan perang—ini adalah kekejian yang menjijikkan,” ujar salah satu pejabat media Gaza dengan nada geram.
Gaza menuntut penyelidikan internasional dan pengawasan ketat terhadap semua jenis bantuan yang masuk ke wilayah mereka. Di balik retorika tentang ‘peradaban’ dan ‘kemanusiaan’ yang sering digaungkan AS dan Israel, kasus ini membuka tabir hipokrisi yang selama ini diselimuti propaganda.
Dunia internasional diminta untuk tidak lagi diam. Kebenaran bahwa bahan makanan dipakai sebagai medium penyebar narkotika harus menjadi alarm keras bagi komunitas global, terutama lembaga-lembaga bantuan dan pengawasan kemanusiaan.
Gaza telah lama menjadi ladang uji coba kebijakan tidak manusiawi. Namun kini, eksperimen tersebut memasuki babak baru yang lebih licik dan membahayakan.
Ketika bantuan berubah menjadi ancaman, maka solidaritas dunia bukan hanya dibutuhkan—tapi diwajibkan. Ini bukan lagi soal politik, tetapi soal menjaga kemanusiaan dari kehancuran yang dirancang dengan sengaja.