Imam Khomeini: Hubungan dengan AS Hanya Mengundang Kehinaan

Posted 2 days 3 hours ago

Pernyataan Imam Khomeini (rahmatullah ‘alaih) kembali menggema dengan relevansi yang membakar, terutama ketika dunia Muslim menyaksikan agresi, eksploitasi, dan kehancuran yang terus-menerus dipicu oleh kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat. Dalam sebuah kutipan tajam dan tegas, Imam menegaskan bahwa tidak ada kehormatan dalam menjalin hubungan dengan pemerintah Amerika.

Lebih dari sekadar pernyataan politik, ini adalah prinsip akidah dan arah perjuangan melawan penindasan global. Imam Khomeini menyamakan pemerintah Amerika dengan entitas yang secara sistematis mencari kaum tertindas, lalu menguliti dan menghabisi mereka.

Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari realitas pahit yang telah terbukti di berbagai belahan dunia: dari Asia Barat hingga Amerika Latin, dari Afrika hingga Asia Tenggara. Ke mana pun kepentingan imperialisme Amerika menjalar, di sana selalu tersisa luka, kehancuran sosial, dan kehinaan bagi mereka yang menjalin kemitraan dengan kekuatan zalim itu.

Dalam konteks kontemporer, ucapan ini menjadi tamparan bagi para pemimpin dunia Islam yang masih mengandalkan hubungan dengan Amerika demi kelangsungan kekuasaan atau stabilitas semu. Bukannya membawa kesejahteraan, hubungan tersebut justru mengakibatkan ketergantungan, intervensi militer, dan kerusakan struktural pada bangsa mereka sendiri.

Rakyat dipaksa menanggung beban utang, sanksi, dan perang, sementara penguasa menikmati kenyamanan di bawah bayang-bayang kekuasaan asing. Peringatan Imam Khomeini juga berakar pada prinsip keislaman yang menolak segala bentuk kedzaliman dan menjunjung tinggi keadilan.

Islam tidak membenarkan kompromi dengan penjajah dan penindas, bahkan jika itu dibungkus dengan retorika diplomasi atau bantuan kemanusiaan. Oleh sebab itu, menjalin hubungan dengan kekuatan seperti Amerika bukan hanya sebuah kekeliruan strategis, tapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam dan penderitaan umat yang telah lama dijadikan korban.

Imam menolak dengan tegas ilusi bahwa hubungan diplomatik dengan AS dapat membawa kemajuan. Menurutnya, yang diperoleh bukanlah kemajuan, melainkan kehinaan dan dominasi.

Bahkan dalam konteks ekonomi dan teknologi, ketergantungan kepada Barat hanya akan menjauhkan umat Islam dari kemandirian dan membunuh potensi yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Muslim sendiri. Dengan kata lain, hubungan itu hanya menguntungkan satu pihak, sementara pihak lain dijadikan pasar dan sasaran eksploitasi.

Dalam sejarah perlawanan dunia Islam, tidak sedikit negara yang belajar dengan cara pahit dari hubungan mereka dengan Amerika Serikat. Intervensi brutal, penggulingan pemerintahan sah, dan pendirian rezim boneka adalah bukti konkret bahwa Amerika tidak pernah menjadi mitra sejati bagi negara-negara tertindas.

Yang dicari hanyalah kepentingan ekonomi, kendali geopolitik, dan dominasi militer. Maka, seruan Imam Khomeini bukanlah nostalgia revolusioner belaka.

Ia adalah ajakan untuk sadar, bangkit, dan memutus ketergantungan terhadap kekuatan asing yang telah lama menjajah umat dengan wajah yang lebih halus. Imam menginginkan agar umat Islam menatap masa depan dengan kepala tegak, membangun kekuatan sendiri, dan menjauhi jebakan kehinaan yang bernama kompromi dengan penjajah.

Inilah jalan mulia menuju kebebasan dan harga diri sejati umat.