Dalam salah satu pidato paling menggugah yang pernah disampaikan oleh Imam Khomeini rahimahullah, terdapat kalimat sederhana namun penuh makna: "Mereka tidak peduli apakah kita salat atau tidak, mereka hanya ingin kita tidak menjadi manusia." Ungkapan ini bukan sekadar retorika religius, melainkan pukulan telak terhadap sistem-sistem penindasan yang bekerja untuk melucuti martabat manusia di balik kedok kekuasaan dan dominasi. Kalimat ini menggambarkan esensi perjuangan yang jauh lebih dalam dari sekadar pertarungan politik atau agama—ini adalah pertarungan untuk mempertahankan harkat kemanusiaan.
Imam Khomeini memahami bahwa kekuatan-kekuatan yang menjajah, mengeksploitasi, dan menindas bukan hanya ingin menghancurkan struktur sosial atau politik umat, tetapi juga ingin merusak jati diri manusia itu sendiri. Ketika ibadah hanya dilihat sebagai formalitas, sementara nilai-nilai keadilan, empati, kesadaran, dan harga diri dilucuti, maka manusia telah dikosongkan dari makna sejatinya.
Dalam konteks inilah ucapan beliau menjadi relevan sepanjang zaman. Musuh-musuh kemanusiaan tidak takut pada salat sebagai gerakan lahiriah—mereka takut pada salat yang membangkitkan kesadaran, yang menginspirasi perlawanan, dan yang menumbuhkan keberanian untuk menolak ketidakadilan.
Itulah sebabnya, yang mereka incar bukan hanya tubuh umat, tetapi jiwa dan pikirannya. Mereka menciptakan sistem pendidikan yang menumpulkan nalar, media yang menumpulkan nurani, dan budaya konsumtif yang mematikan solidaritas.
Pidato Imam Khomeini ini menjadi cermin untuk melihat bagaimana rezim-rezim tiran sering membungkam bukan hanya agama, tetapi juga nilai-nilai luhur kemanusiaan. Larangan terhadap aktivisme, pembungkaman kritik, dan penindasan terhadap kelompok tertindas dilakukan dengan satu tujuan: menjadikan manusia makhluk pasif, yang hidup tanpa kesadaran dan keberanian.
Di sinilah pentingnya memahami bahwa perjuangan bukan hanya tentang membela agama secara simbolik, tetapi mempertahankan fitrah manusia itu sendiri. Ucapan itu pun seakan menjadi pengingat keras bagi umat Islam hari ini—khususnya di tengah tragedi-tragedi seperti Gaza, Yaman, dan wilayah lain yang terjajah—bahwa membela kemanusiaan adalah bagian tak terpisahkan dari iman.
Ketika umat dibungkam dengan alasan keamanan, dikendalikan melalui propaganda, dan dibatasi pikirannya dengan dalih stabilitas, maka sesungguhnya yang dirampas adalah inti dari kemanusiaan itu sendiri. Imam Khomeini tidak hanya mengajak untuk salat, tapi mengajak agar salat itu menjadi kekuatan pembebas.
Ia mendorong umat agar tidak terjebak dalam simbolisme kosong, tapi menghidupkan makna spiritual dalam tindakan nyata. Ketika salat dijadikan pelarian, bukan pemantik kesadaran, maka kita telah memenuhi keinginan para penindas: menjadi manusia yang taat secara fisik, tapi mati secara jiwa.
Kalimat beliau telah melampaui masa dan tempat. Ia adalah seruan yang hidup, yang hari ini kembali menggema di tengah dunia yang diguncang krisis moral.
Di saat banyak bangsa terperangkap dalam sistem yang mereduksi manusia menjadi alat produksi atau objek kekuasaan, maka tugas kita adalah menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang merdeka. Dan dari sanalah perlawanan sejati dimulai.