Imam yang Menulis Ulang Takdir Kaum Tertindas

Posted 2 days 2 hours ago

Dengan dua bantal tempat beliau beristirahat, sebuah meja kayu sederhana sebagai saksi, dan kitab-kitab kebenaran ilahi yang selalu dekat dalam pelukan malamnya, Imam Khomeini menjalani hidupnya dalam kesederhanaan yang melampaui dunia. Namun, di balik kesederhanaan itu, tersimpan kekuatan yang mengubah wajah sejarah dan mengguncang fondasi kezaliman global.

Ia tidak bersenjata, tidak bersinggasana, tidak ditemani pasukan berseragam. Yang beliau miliki hanyalah cinta yang membara kepada Allah dan keyakinan penuh terhadap kemenangan kaum tertindas.

Dari situlah ia menulis ulang takdir umat yang lama dibungkam dalam ketakutan dan kehinaan. Imam bukan sekadar seorang ulama atau pemimpin revolusi.

Ia adalah simbol perlawanan spiritual terhadap kekuatan dunia yang menindas. Di saat dunia tunduk kepada kekuatan senjata dan uang, Imam datang dengan senjata yang tak terlihat: keimanan.

Ia membangkitkan bangsa dari tidur panjang, menyadarkan hati-hati yang beku, dan menghidupkan kembali semangat Islam yang sejati—Islam yang menolak tunduk pada tirani dan berdiri tegak untuk keadilan. Itulah sebabnya warisannya tidak pernah layu, meski tubuhnya telah kembali ke pangkuan Ilahi.

Kaum tertindas di seluruh dunia, dari Palestina hingga Kashmir, dari Irak hingga Afrika, menemukan inspirasi dalam langkahnya. Ia mengajarkan bahwa kemenangan sejati tidak lahir dari jumlah atau kekayaan, melainkan dari kemurnian niat dan keberanian menantang ketidakadilan.

Dalam doanya yang panjang, dalam seruannya yang lantang, dalam diamnya yang penuh makna, tersimpan kekuatan yang membangunkan umat dari keputusasaan. Meja kayu tempat beliau menulis, kitab-kitab yang ia pelajari dan tulis ulang dengan hati yang bersujud, menjadi saksi bagaimana Islam dihidupkan kembali dalam bentuknya yang paling otentik—bukan sebagai ritual kosong, melainkan sebagai kekuatan perubahan sosial, politik, dan spiritual.

Inilah yang membuatnya dicintai oleh para pejuang dan dibenci oleh para tiran. Ia tidak menegakkan Islam dengan kekerasan, tetapi dengan keteladanan.

Dan keteladanan itu telah menyalakan bara dalam hati jutaan manusia. Imam Khomeini tidak meninggalkan istana atau harta, tetapi meninggalkan jalan.

Jalan itu adalah jihad dalam makna paling luas: jihad melawan kezaliman, jihad menegakkan kebenaran, jihad membersihkan jiwa dari hawa nafsu, dan jihad membela yang lemah. Jalan itu kini diteruskan oleh generasi-generasi yang mewarisi semangatnya, bukan hanya di Iran, tetapi di seluruh penjuru dunia Islam yang merindukan kebangkitan hakiki.

Setiap tahun, setiap peringatan wafatnya, kita tidak sekadar mengenangnya sebagai tokoh sejarah. Kita mengenangnya sebagai ruh yang hidup di tengah kita, membisikkan keberanian, membakar semangat, dan menunjukkan arah.

Al-Fatihah untuk ruh suci yang telah mengajari umat ini bagaimana bangkit dengan kepala tegak, walau dunia mencoba menundukkan. Imam telah pergi, tetapi jejaknya tertanam kuat dalam tanah perjuangan.

Ia hadir dalam setiap langkah kaki anak-anak Palestina yang membawa batu menghadapi tank, dalam setiap air mata ibu yang kehilangan putra karena perang, dalam setiap suara adzan yang berkumandang di tengah reruntuhan. Ia adalah ruh kebangkitan, suara yang tidak akan pernah padam—selama masih ada jiwa-jiwa yang mencintai keadilan dan menolak tunduk pada kebatilan.