Kisah Kareem: Bocah Lima Tahun yang Terjebak di Bawah Reruntuhan Gaza

Posted 2 days 11 hours ago

Di balik debu dan puing-puing reruntuhan di Kota Gaza, sebuah kisah memilukan kembali mencuat—kisah tentang seorang bocah laki-laki berusia lima tahun bernama Kareem Al-Nadeem. Ia terjebak selama berjam-jam di bawah reruntuhan rumahnya yang hancur setelah dibombardir oleh pasukan zionis.

Bersamanya, sang adik laki-laki yang masih kecil juga terperangkap tanpa makanan, air, atau cahaya. Suara tangis dan napas yang terengah-engah menjadi satu-satunya penanda bahwa kehidupan masih berjuang di bawah lapisan beton dan baja yang runtuh akibat kekejaman perang.

Peristiwa ini terjadi di tengah intensitas serangan udara yang tak kunjung henti menghujani Kota Gaza. Rumah Kareem yang terletak di kawasan padat penduduk luluh lantak dalam sekejap, tanpa peringatan, tanpa kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Kareem dan adiknya hanyalah dua dari sekian banyak anak Palestina yang menjadi korban konflik berkepanjangan yang telah merenggut ribuan nyawa dan masa depan tak terhitung jumlahnya. Dalam ketakutan dan kegelapan, mereka bertahan—menunggu pertolongan yang datang dengan penuh risiko dan keterbatasan.

Upaya penyelamatan berlangsung dalam tekanan waktu dan kekurangan peralatan. Para relawan dan keluarga korban berjuang dengan tangan kosong, menggali puing demi puing dengan harapan menemukan mereka masih bernyawa.

Setiap detik yang berlalu adalah perlombaan antara hidup dan kematian. Situasi di Gaza begitu genting—rumah sakit penuh, ambulans kekurangan bahan bakar, dan regu penyelamat harus bekerja di bawah ancaman serangan lanjutan.

Namun di balik semua itu, semangat kemanusiaan tetap menyala dalam kesunyian reruntuhan. Kisah Kareem bukan sekadar tragedi individu.

Ia mencerminkan betapa brutal dan tak berperinya perang yang menyasar anak-anak dan keluarga tak bersenjata. Ia menjadi lambang dari generasi yang tumbuh di bawah bayang-bayang kehancuran, tanpa tahu arti damai, tanpa sempat mencicipi masa kecil yang utuh.

Dalam sorot mata Kareem, kita melihat kepedihan yang mendalam, ketakutan yang membekas, dan pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terucap: Mengapa rumahku dihancurkan? Mengapa adikku harus menangis dalam gelap? Dunia internasional, sekali lagi, dihadapkan pada kenyataan bahwa korban terbesar dari konflik ini adalah mereka yang paling tak berdaya.

Anak-anak seperti Kareem seharusnya sedang bermain, belajar, dan tertawa, bukan bergulat dengan kematian. Namun nyatanya, banyak dari mereka kini hidup dalam ketakutan, berkawan dengan trauma, dan tumbuh dalam bayang-bayang kehilangan.

Diamnya dunia terhadap penderitaan mereka adalah pengkhianatan terhadap nurani umat manusia. Kisah seperti ini seharusnya menggugah siapa saja yang masih memiliki rasa kemanusiaan.

Ini bukan sekadar berita duka dari negeri jauh, melainkan panggilan untuk menyadari bahwa setiap bom yang dijatuhkan bukan hanya meruntuhkan bangunan, tapi juga merobek masa depan anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang politik atau konflik. Mereka hanya ingin hidup tenang, memeluk orang tua mereka, dan bermimpi tentang esok yang lebih cerah.

Kareem Al-Nadeem mungkin selamat hari ini, tapi luka batin yang ia bawa akan menjadi saksi bisu dari kebiadaban yang dunia izinkan terus terjadi. Ia adalah suara yang tak terdengar dari jutaan anak Palestina lainnya.

Dan selama dunia memilih diam, kisah seperti ini akan terus berulang, menyisakan tanya: sampai kapan kita membiarkan anak-anak dibesarkan di antara reruntuhan dan derita?