Pernyataan keras kembali muncul dari Kenneth O’Keefe, mantan marinir Amerika Serikat yang dikenal vokal dalam mengkritik kebijakan luar negeri negaranya dan mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dalam pernyataannya yang kembali viral, O’Keefe menegaskan bahwa ancaman utama bagi rakyat Amerika bukanlah Iran, seperti yang selama ini digaungkan dalam retorika politik Washington, melainkan Israel dan para pengkhianat yang beroperasi dari dalam negeri Amerika sendiri.
Ucapan ini mengguncang banyak pihak, terutama karena datang dari sosok yang pernah menjadi bagian dari institusi militer Amerika sendiri. Kenneth O’Keefe bukan sosok asing dalam dunia aktivisme anti-perang dan pro-keadilan Palestina.
Ia telah lama dikenal sebagai pengkritik kebijakan militer Amerika yang dinilainya cenderung dikendalikan oleh kepentingan asing, khususnya lobi pro-Israel. Menurutnya, narasi ancaman Iran hanyalah alat propaganda untuk membenarkan intervensi militer dan penjualan senjata, sementara kerusakan yang nyata dan sistemik justru dilakukan oleh sekutu dekat AS sendiri, yakni Israel.
Ucapan ini menyentuh akar persoalan yang selama ini coba ditutupi oleh wacana geopolitik Barat. Lebih dalam, O’Keefe menyoroti bagaimana kepentingan Israel telah menyusup ke dalam kebijakan-kebijakan Amerika melalui para politisi yang disebutnya sebagai pengkhianat.
Mereka, menurutnya, bukan hanya gagal menjalankan mandat konstitusi Amerika, tapi secara aktif merugikan kepentingan rakyatnya sendiri demi keuntungan kekuatan asing. Pernyataan ini memperkuat narasi bahwa kebijakan luar negeri AS dalam konflik Timur Tengah bukan semata demi kepentingan nasional, tetapi lebih merupakan cerminan dominasi lobi Zionis di Washington.
Ucapan O’Keefe juga mendapat tempat dalam arus kesadaran global yang mulai mempertanyakan keabsahan dukungan tanpa syarat Amerika terhadap Israel, terutama di tengah meningkatnya jumlah korban sipil di Gaza. Banyak kalangan mulai menyuarakan hal serupa: bahwa solidaritas terhadap rakyat Palestina bukanlah bentuk anti-Amerika, melainkan sikap moral melawan kebijakan yang korup dan tidak manusiawi.
Dalam konteks ini, O’Keefe dianggap sebagai suara dari dalam yang berani membongkar kebusukan sistem yang telah lama beroperasi dalam gelap. Kritiknya juga menunjukkan bahwa ancaman terhadap demokrasi dan integritas Amerika datang bukan dari luar negeri, tetapi dari dalam negeri sendiri—melalui sistem politik yang dibeli oleh kepentingan asing.
Dalam pandangannya, rakyat Amerika sendiri telah menjadi korban dari kebijakan luar negeri yang memprioritaskan Israel di atas kebutuhan domestik. Hal ini menjelaskan mengapa anggaran militer AS begitu besar, sementara pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik diabaikan.
Pernyataan O’Keefe patut dicermati dalam konteks meningkatnya solidaritas global terhadap Palestina. Suara-suara dari Barat yang biasanya diam kini mulai bangkit dan mempertanyakan kembali nilai-nilai yang mereka anut.
O’Keefe menjadi contoh bahwa kritik terhadap Israel bukanlah monopoli dunia Islam atau negara berkembang, tetapi juga muncul dari hati nurani masyarakat Barat yang tidak lagi bisa menerima pembantaian atas nama aliansi geopolitik. Apa yang dikatakan O’Keefe membuka ruang diskusi yang lebih jujur dan tajam: bahwa dukungan terhadap Israel kini bukan hanya persoalan politik luar negeri, tetapi juga menyangkut keberlangsungan demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan global.
Dalam situasi dunia yang semakin terpolarisasi, suara seperti miliknya menjadi penting untuk menjaga agar nurani kolektif tetap hidup dan tidak tertelan propaganda kekuasaan.